News.ciptajasadigital.com JAKARTA – Penetapan lima perusahaan sebagai terperiksa pada perkara dugaan korupsi tata niaga timah dengan nilai kerugian mencapai Rp152 triliun dinilai tidak ada tepat. Apalagi Kejagung tidaklah memasukkan PT Timah sebagai pihak yang tersebut ditersangkakan.
Pakar hukum pertambangan Abrar Saleng mengatakan, jikalau terjadi kerusakan lingkungan yang mana ditimbulkan akibat kegiatan penambangan, seharusnya tanggung jawab itu harus dibebankan terhadap badan usaha selaku pemegang IUP. Karena hal itu secara tegas telah lama diatur di UU No 3/2020 tentang inovasi berhadapan dengan UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral kemudian Batu Bara.
“Sanksi terhadap kehancuran lingkungan tertuang di Pasal 161. Pasal itu menyebutkan pemegang IUP/IUPK yang digunakan dicabut atau berakhir dan juga tiada melaksanakan reklamasi kemudian penempatan jaminan reklamasi dipidana penjara paling lama 5 tahun. Tak cuma itu pemegang IUP/IUPK itu juga didenda paling banyak Rp100 miliar,” kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini di siaran pers, Rabu (8/1/2025).
Sementara pada ayat 2 pasal yang dimaksud sebanding diatur sanksi pidana. Di situ disebutkan, eks pemegang IUP atau IUPK dapat dijatuhi pidana tambahan sebagai pembayaran dana pada rangka pelaksanaan kewajiban reklamasi yang dimaksud menjadi kewajibannya.
“Semua kegiatan pertambangan yang tersebut masih aktif, kecacatan lingkungannya dibebankan terhadap badan usaha. Karena nanti pada waktu dikembalikan terhadap negara perlu dilaksanakan pemulihan lingkungan pasca tambang. Bahkan semua data-data yang mana diperoleh pada pertambangan itu dikembalikan terhadap negara. Itu sudah ada diatur pada UU Minerba,” jelasnya.
Terkait adanya tudingan jaminan reklamasi (Jamrek) dianggap tambahan kecil dari total kerugian negara, Abrar menyatakan selama izin (pertambangan) masih berlangsung, masih berpartisipasi atau belum berakhir, tidak ada dapat dinilai kecacatan lingkungannya. Karena nanti reklamasi pasca tambang, pemulihan lingkungan akan diadakan pemilik IUP. “Yang pasti, PT Timah tidak ada akan menambang kalau biaya pemulihan lingkungannya lebih banyak besar jika dibandingkan hasil yang mana diperoleh,” tuturnya.
Senada, Pakar hukum dari Universitas Pelita Harapan Jamin Ginting mengungkap Kejagung salah sasaran menjadikan lima perusahaan sebagai terperiksa korporasi, alih-alih membidik PT Timah. “Jadi, kalau terkait korporasi, tentu ada kebijakan korporasi yang tersebut melanggar aturan. Mungkin terkait dengan izin, pengelolaan, atau IUP. Sementara IUP-nya, ini kan IUP-nya PT Timah. Jadi, korporasi yang digunakan pantas untuk ditarik sebagai pelaku aktivitas pidana harusnya PT Timah,” katanya.
Ia menuturkan, korporasi dijadikan sebagai pelaku aksi pidana Tipikor umumnya dikarenakan tiga faktor. Pertama, korporasi itu mendapatkan keuntungan dari perbuatan yang diadakan tersebut. Kedua, korporasi tak melakukan upaya pencegahan akibat dampak yang tersebut tambahan luas. Ketiga, tiada ada upaya untuk mengurangi terjadinya perbuatan itu.
Alasan lain Kejagung dianggap salah alamat pada penersangkaan korporasi di tempat perkara ini lantaran perusahaan-perusahaan yang dimaksud memang benar mempunyai legalitas, berpengalaman, juga dimiliki oleh swasta murni.
“Bukan ada orang-orang tertentu yang tersebut sengaja menggunakan semata-mata untuk sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. Korporasi ini juga tiada pernah melakukan suap, ataupun memberikan upeti atau setoran untuk para pengurus negara. Jadi dengan hal-hal seperti ini harusnya dilihat. Itu yang dimaksud harus dilihat,” tandasnya.